Senin, 14 Februari 2011

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Diakui atau tidak, kualitas kepribadian anak didik kita belakangan ini kian memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan mereka adalah bukti bahwa pendidikan kita telah gagal membentukakhlak anak didik. Pendidikan kita selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan. Kita lihat berapa banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka. Tampk dunia pendidikan di Indonesia masih dipenuhi kemunafikan karena yang dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya semata-mata sebagai sarana mencari kerja. Kenyataannya yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia pendidikan. Melalui buku Filsafat Pendidikan Islami ini, Ahmad Tafsir menggugat pendidikan kita yang masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri, pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau gila harta dan serakah. Menurut penulis yang sehari-hari mengajar filsafat di Universitas Islam negeri Bandung ini, kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya akhlak. Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. Untuk itu penulis membuka kajiannya dengan penjelasan mengenai hakekat manusia. Penjelasan soal ini dibagi dalam tiga bagian yakni penjelasan tentang manusia menurut manusia. Pada bagian ini banyak dikutip pendapat para filosof yang memaparkan unsur-unsur manusia. Bagian kedua memuat penjelasan Allah tentang manusia. Di sini diungkap beberapa ayat Alquran yang merinci faktor-faktor penentu bagi kehidupan manusia. Misalnya. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan banyak kelebihan. Manusia juga dilengkapi banyak kelemahan yang tidak dimiliki makhluk lain. Bahasan seputar manusia ditutup dengan bagian terakhir, yaitu inti manusia. Penjelasan soal inti manusia didasarkan pada hadis qudsi yang menerangkan bahwa ada tujuh kulit yang melingkupi inti manusia. Pembahasan tentang inti manusia ini tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan. Sebab pendidikan yang sejati adalah untuk manusia. Selain mengurai hakikat manusia, penulis juga menjelaskan soal hakikat pendidikan, tujuan pendidikan, dan pengembangan pendidikan sebagai usaha membangun manusia seutuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar